Setelah Johnny Cash, Metallica, dan Slank, kini giliran The Brandals manggung di penjara, Kamis [22/11] lalu.
Fanno, sang manajer bolak-balik ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia serta ke Lapas di Tangerang untuk melobi aparat supaya The Brandals bisa bermain di sana. Tak ada suap menyuap atau pungutan biaya yang dikenakan pengelola Lapas. “Yang penting gimana kita ngomong sama mereka,” katanya.
Akhirnya, mereka memilih Lapas dengan penghuni di bawah 18 tahun, Lapas Kelas II A. Kata Fanno, dengan alasan relatif lebih mudah terkendali. Selain karena umur, juga karena penghuni Lapas di sana, sekitar 300 orang. “Penggemar kami, umurnya rata-rata segitu kan, 12 sampai 18 tahun,” kata vokalis Eka Annash.
Secara fisik, para penghuni Lapas itu memang, relatif terlihat lebih mudah dikendalikan. Tak ada tipikal fisik tahanan seperti dalam film; badan kekar, bertato, wajah seram. Yang ada, malah remaja-remaja tanggung dengan wajah yang jauh dari kesan kriminal. Yang harusnya masih berada di bangku sekolah. Katanya, tak sedikit dari mereka yang asalnya dari jalanan. Sudah tak punya keluarga.
Tapi, fisik boleh menipu. Karena jumlah penghuni yang masuk karena kasus pembunuhan, mengutip keterangan salah seorang pengelola Lapas, “lumayan banyak.”
David Tarigan, A&R Aksara Records, bercerita soal salah seorang tahanan yang menghampiri gitaris Toni. Tahanan itu, salah satu dari sekian banyak penggemar The Brandals. Ketika Toni bertanya alasan si anak masuk penjara, anak itu menjawab, “Gue merkosa cewek gue. Terus, gue bakar,” katanya tenang.
Seorang anak, menceritakan alasannya masuk ke sana karena tabrakan setelah balapan liar. Sialnya, yang ditabraknya, meninggal. Akhirnya, yang masih hidup harus menanggung akibatnya.
Lapas itu juga, tak seseram yang dibayangkan. Lapas di sana, terdiri dari kelompok bangunan yang mengelilingi kompleks berbentuk segi empat. Di dalam area yang dikelilingi bangunan itu, terdapat lapangan basket, musholla, serta ruang tahanan. Ruang tahanannya, bukan berupa kamar berkasur dua seperti yang kita lihat di film Hollywood. Tapi, lebih seperti bangsal, yang entah berapa orang menghuni satu bangsal itu. Cat bangunan mungkin sengaja dipilih warna-warna cerah, supaya memberi kesan nyaman.
Memang, sedikit mirip dengan suasana sekolah. Ada ruangan yang mirip ruangan kelas. Ada bapak-bapak dan ibu-ibu berseragam, seperti halnya guru. Ada kumpulan foto di dinding, seperti halnya foto dokumentasi sekolah. Bahkan, saya melihat salah seorang anak berlari ke salah satu ruangan yang mirip ruangan guru, sambil membawa sejenis makalah. “Gue belum ngumpulin tugas nih,” katanya kepada temannya.
Walaupun tentu saja, bagi sebagian orang, penjara dan sekolah sama-sama tak menyenangkan. Juga, sama-sama masuk karena terpaksa. Hanya bedanya, mereka yang bersekolah, masih bisa bolos atau pulang ketika jam pelajaran berakhir. Sedangkan, para penghuni Lapas, terjebak dua puluh empat jam.
***
Jam dua siang, konferensi pers digelar. Seperti biasa, ada sesi tanya jawab. Hanya kali ini, ditambah sesi tanya jawab dari penghuni Lapas. Seorang anak kecil, malu-malu, bertanya, “Kak, kenapa nama bandnya The Brandals?” katanya.
Padahal, sebelumnya, seorang wartawan sudah menanyakan hal yang kurang lebih serupa. Nah, sekarang kita bisa membandingkan, kurang lebih seperti apa kelas intelektual wartawan yang masih bertanya soal alasan pemilihan nama band. Hehe.
Selain bicara soal nama band, Eka berbagi cerita pada para pemuda itu, soal apa yang membuat mereka bermain band. Ketika remaja, dia sering menyaksikan band-band seperti Slank dan Iwan Fals di panggung. Itu membuat dia ingin suatu saat ada di panggung juga. Entah kenapa nama Slank dan Iwan Fals dijadikan contoh, dari sekian banyak musisi yang ditonton Eka. Entah karena memang itu jadi pemicu, entah karena dua nama itu dirasa punya kedekatan buat para remaja penghuni Lapas.
"Jadi, kalian juga bisa mewujudkan mimpi kalian kalau kalian mau," begitu kurang lebih kata Eka, mencoba memberi pesan moral.
Hampir jam tiga sore, setelah konferensi pers, dua band yang personelnya para penghuni Lapas membuka acara. Bapak pengelolas Lapas yang saya lupa namanya mengatakan kalau band dari Lapas itu ada yang sudah ikut kompilasi album. “Yah dengan datangnya Aksara Records ke sini, mudah-mudahan kreativitas mereka bisa tersalurkan,” katanya.
Hanin Sidharta dan David Tarigan hanya tersenyum ketika mendengar itu.
Band Lapas yang pertama, Speak 86, memainkan lagu berjudul “Sakit Hati.” Lagunya dibuka dengan nada tipikal pop yang merengek-rengek. Tapi, ternyata itu hanya intro, karena mereka memainkan punk rock. Lagu kedua, saya lupa judulnya. Yang jelas, lagu ciptaan mereka sendiri. Dengan lirik yang samara-samar terdengar di kuping saya, seperti ini;
Oh Tuhan
Blablabla
Aku kesepian
Blablabla
Blablabla
Blablabla
Mereka ada di mana?
Band kedua, sepertinya bernama Alive. Karena dua personel mereka sudah pulang, mereka meminjam gitaris dan bassist band sebelumnya. Band yang ini, memainkan pop dengan nada-nada Melayu dan lirik yang juga bercerita soal sakit hati.
Tema sakit hati dan kesepian sepertinya jadi tema andalan para penghuni Lapas. Di salah satu ruangan, saya melihat komik karya mereka. Sepertinya dibuat ketika Hari Valentine. Hanya sedikit yang bernada optimis. Selebihnya, sakit hati karena tak punya pacar. Atau, melihat orang lain berpacaran.
Agaknya wajar kalau tema-tema seperti itu disukai mereka. Di antara jutaan orang di Indonesia, mereka termasuk yang paling berhak bercerita soal kesepian dan kekecewaan.
***
Tema yang serupa, saya rasakan di album ketiga The Brandals, “Brandalisme.” Lagu-lagu berbahasa Indonesianya, penuh dengan lirik bertema kekecewaan. Tipikal ungkapan rasa-kecewa-terhadap-keadaan-tapi-harus-bagaimana-lagi-ya-sudahlah-terima-saja.
Lama teringat janji yang terlupa
Sendiri tak ada tawa
Berteman sepi
Terbuai tertinggal
Kata Eka dalam “Surat Seorang Proletar Buat Para Elit Borjuis.” Lagu yang sarat pengaruh psikadelik, sedikit mengingatkan saya pada nuansa lagu “We Love You” milik The Rolling Stones.
Suap seribu janji seribu cerita
Kotori mata hati keriput derita
Sudah jangan ditambah
Kami sudah muak
Seribu hari janji
Terbalik tertolak
Manis di bibir pahit terasa
Kata Eka dalam “Janji 1000 Hari,” yang judulnya saya sukai.
Tak salah kalau mereka mengatakan album ini kristalisasi dari album pertama dan kedua. Album pertama, mereka seperti lebih berteriak. Lebih ingin didengar. Lebih ingin keras. Album kedua, terdengar lebih tenang. Lebih banyak bereksperimen dengan instrumen. Hasilnya, musiknya lebih variatif. Mengingatkan pada nuansa album “Exile On Main St” dari The Stones.
Album paling baru ini, adalah gabungan atmosfer dari kedua album sebelumnya. Tak terlalu bising, tapi masih ada enerjinya. Teriakan Eka tak terlalu terdengar frustasi penuh amarah. Buat telinga saya, suara Eka di album ini terdengar seperti orang yang masih marah, tapi akhirnya nyaris menuju ke tahap menerima keadaan karena tak tahu lagi harus berbuat apa.
Tak banyak instrumen tambahan seperti di album kedua. Hanya, mereka lebih berani bermain-main dengan komposisi. Walaupun di beberapa lagu, masih terasa beberapa part yang merupakan ‘rampasan’ dari lagu orang lain.
“Musik The Brandals itu kan gabungan antara blues dan punk, ya ibaratnya The Rolling Stones ketemu sama Sex Pistols deh,” kata Eka ketika ditanya salah seorang wartawan.
***
“Eka cakep deh,” kata bocah penghuni Lapas ketika The Brandals bersiap-siap. Eka tak mendengar. Bocah itu pun berkata dengan malu-malu. Teman si bocah rupanya juga sedikit malu-malu untuk berjoget ketika The Brandals mulai bermain. Walau akhirnya mereka mau juga berjoget. Salah seorang dari mereka, malah berjoget ala Modern Darlings.
Tak butuh banyak penjagaan untuk mengendalikan penonton. Di tempat yang isinya banyak ‘penjahat’ saja, tak butuh banyak aparat untuk mengawasi. Hanya tiga orang petugas berjaga-jaga. Itu pun lebih ke supaya mereka tak mengganggu permainan The Brandals. Dan anak-anak itu, memang mudah dikendalikan. Mereka hanya ingin bersenang-senang. Tak ada yang berkelahi karena tersenggol temannya. Saya lantas teringat pada beberapa pertunjukkan dengan mayoritas penonton remaja seusia mereka, yang selalu dihiasi dengan perkelahian.
Mereka memainkan enam lagu. Cukup banyak yang tahu lagu-lagu lama mereka. Ini jadi bukti kalau ucapan Fanno soal ada penggemar The Brandals di sana. Lewat setengah empat, pertunjukkan kecil itu rampung. Tak sebesar Live at Folsom Prison-nya Johnny Cash memang, tapi sepertinya itu cukup menghibur para penghuni Lapas. Setidaknya, kalau ukurannya banyak wajah tersenyum ketika berjoget dan belasan remaja menyerbu untuk meminta tanda tangan.
Eka menutup pertunjukkan sore itu dengan sedikit berkhotbah. “Kalau kalian sudah bisa pulang dari sini, minta maaf sama orangtua kalau yang orangtuanya masih ada. Ingat, kembali ke orangtua dan kembali ke agama,” katanya.