Lukman Sardi: “Anda Tidak Bisa Samakan Saya dengan Idris Sardi!”
tau siapa Lukman Sardi, dia pernah jadi salah satu teman kampus Gie, pembunuh
bayaran di Sembilan Naga, dan sopir beristri banyak di Berbagi Suami. Wawancara
ini dimuat di edisi kedua majalah kami. Untuk rubrik 20Q. Ini versi yang belum
diedit.
Bisa cerita soal
Piala Citra yang Anda dapat waktu kecil?
Bukan Piala Citra namanya, tapi Piala Kartini. Sama
seperti Piala Citra, tapi untuk anak-anak. Filmnya, “Pengemis dan Tukang Becak”
tahun ’79, umur saya tujuh tahun. Tapi, film layar lebar pertama saya,
“Kembang-Kembang Plastik” karya Wim Umboh. Jadi, waktu kecil, film saya selain
dua tadi, ada “Anak-Anak Tak Beribu”, “Cubit-Cubitan”, “Gema Hati Bernyanyi”,
“Beningnya Hati Seorang Gadis”, “Laki-Laki Dalam Pelukan” dan film terakhir
yang saya mainkan waktu remaja, “Bermain Drama”.
perasaan Anda waktu dapat Piala Kartini?
Wah, saya belum punya perasaan apa-apa. Saya senang
bisa naik panggung, tapi belum punya perasaan yang waah bagaimana. Karena anak
umur segitu, belum punya pikiran soal penghargaan atas karya.
itu bagi Lukman Sardi kecil?
Dulu sih belum terlalu memikirkan yang aneh-aneh.
ceritanya bisa main film?
Ayah saya memang lingkungannya di
pemain kecil buat film barunya, “Kembang-Kembang Plastik”. Dia mengajak saya
bermain kepada ayah. Waktu itu saya belum mengerti konsep tentang main film.
Cuma, ‘kamu entar begini ya, begini ya’. Saya tahu ada kamera, tapi namanya
anak kecil ya jalan aja.
Anda, kok baru umur 30-an muncul lagi?
Saya kuliah dan sempat kerja di beberapa tempat.
Terakhir sempat kerja di playgroup jadi manajer taman bermain. Saya suka film,
suka dunia akting, tapi belum terlalu punya keyakinan kalau saya bakal di situ.
Pokoknya, saya mencari. Sebenarnya waktu kuliah, Mbak Mira Lesmana pernah
ngajak main sinetron. Saya merasa kalau film benar-benar dunia saya, tahun 2000
waktu diajak Persari Film, main sinetron “Cinta yang Kumau” dan “Kawin Lari”.
Langsung dapat peran utama. Nah, di situ saya mulai merasa kalau ini dunia
saya. Begitu mulai fokus, habis itu saya main film “Gie”. Sekitar empat belas
tahun, saya mencari. Nah, waktu tahun 2000 itu, saya mulai merasa nyaman. Akhirnya,
oh ini dia nih pekerjaan yang saya cintai. Ternyata begitu fokus dijalani,
memang benar. Dan jalannya semakin terbuka.
belasan tahun untuk yakin?
Pada prinsipnya, saya mencari pekerjaan yang nyaman dan
saya cintai. Saya tidak mau bekerja di tempat yang saya sendiri tersiksa.. Saya
terus mencari. Sebenarnya, waktu di playgroup saya menemukan kesenangan
tersendiri batin saya. Karena saya suka anak kecil. Tapi, karena latar
pendidikan saya bukan di
sepertinya tidak akan berkembang. Dan ternyata memang saya tidak bisa lari dari
rasa keinginan saya untuk di film. Tadinya, saya pikir karena orangtua saya
selalu di
saya akan berbeda.
Dari sekian
banyak profesi, bintang film yang paling nyaman buat Anda?
Dan saya sudah merasa nyaman sekali. Walaupun harus
syuting berjam-jam yang melelahkan, mungkin secara fisik lelah, tapi saya puas.
cerai, bagaimana itu mempengaruhi kejiwaan Anda?
Mungkin awalnya, waktu saya masih di Sekolah Dasar, itu
pengaruhnya terasa. Anak umur segitu
pikirannya masih ingin main-main. Tapi, saya harus menghadapi pemberitaan di
majalah ini, koran ini. Orang ini bicara soal perceraian ayah saya. Pengaruhnya
lebih ke positif. Saya jadi mandiri. Tidak tergantung orang lain. Waktu itu
saya sempat mengalami, tidak sempat ke mana-mana. Pulang sekolah langsung ke
rumah. Tiba-tiba di depan sekolah, sudah ada wartawan. Bisa begitu. Akhirnya,
saya main sendiri, melakukan semuanya sendiri. Itu sisi positifnya. Proses
perceraian ayah saya yang kedua, sudah tidak terlalu berdampak besar. Walaupun
ada perasaan kecewa. Kenapa juga sembilan beas tahun menikah, harus bercerai? Saya
melihatnya, itu sebagai jalan hidup.
pada lembaga pernikahan?
Saya tetap percaya. Tapi mungkin lebih berhati-hati. Tidak
segampang orang yang, yuk nikah. Saya hanya menghindari hal itu terjadi. Saya
tidak mau kalau sampai bercerai. Efek terbesarnya pada anak.
Apakah Anda tipe
penakluk perempuan?
Tidak tahu ya. Saya cuma suka keindahan. Perempuan
cantik, siapa sih yang tidak suka? Saya tidak munafik. Yang namanya laki-laki,
walaupun sudah punya pasangan, pasti ada perasaan-perasaaan mau deh. Sejauh ini sih, memang selalu dapat perempuan yang
saya inginkan. Walaupun kadang-kadang miss juga. [tertawa]. Kadang-kadang ditolak
juga.
Jelas. Ayah saya selalu berpesan, untuk menghormati
perempuan. Ayah saya romantis sekali, selain keras. Dia suka melakukan hal-hal
romantis terhadap istrinya, di depan anak-anaknya. Itu berpengaruh sekali.
Misalnya, dia mau pergi. Mama belum bangun. Dia cari bunga. Dia tulis
tulis sesuatu yang indah. Dan saya melihat dari itu, akhirnya kebawa. Saya jadi
suka melakukan hal-hal seperti itu. Untuk menimbulkan gairah-gairah lagi dalam
hubungan.
Anda dengan Idris Sardi?
Soal romantisnya mungkin ya. Dan satu lagi yang
sebenarnya saya hindari, tapi ternyata tidak bisa juga. Saya kadang-kadang
keras kepala. Apalagi untuk hal-hal yang menurut saya prinsip. Tapi,
kadang-kadang baru belakangan saya sadar kalau saya salah. Bedanya, kalau ayah
saya sadar dia salah, dia ubah dari sikapnya. Kalau saya, bisa mengakui kalau
saya salah.
Idris Sardi mendidik anak-anaknya?
Sama seperti orangtua lain. Tapi dia disiplin. Itu yang
paling saya lihat. Kalau kita benar mengerjakannya, pasti rejeki jalan terus.
Apalagi dunia film. Kecil sekali. Kalau
syuting di sini ngaco. Di produksi
ketika ada yang mengajak main, nanti ada kru yang bilang, ‘Jangan deh jangan.
Payah orangnya.’
Anda jadi
pembunuh bayaran yang menyayangi keluarganya di “9 Naga”, bagaimana Anda
memandang karakter itu?
seperti itu karena tuntutan ekonomi. Pada dasarnya, dia ingin menghidupi
keluarganya. Tapi, karena pekerjaannya seperti itu. Dia tidak bisa mengeluarkan
emosinya.
Mendalami
karakternya?
Workshop. Saya tanya orang-orang. Saya tonton film-film
seperti The Godfather. Juga saya tidak menonton TV. Saya Cuma berusaha ngobrol
dengan orang-orang di sekitar saya. Bayangkan rasanya sebulan tidak nonton TV.
Sampai ada satu hari, ketika saya merasa kalau tidak keluar dari
yang lebih gilanya lagi, seminggu setelah “9 Naga” selesai, masuk “Berbagi Suami”.
Saya harus hancurkan karakter sebelumnya. Alhamdulillah cukup berhasil.
kalau semua yang dilakukan laki-laki akhirnya untuk perempuan juga?
Itu saya percaya. Rata-rata akhirnya larinya ke situ
yang tega merampok, nyari uang untuk kawin. Buat siapa? Perempuan
situ kebanyakan.
laki-laki yang dijajah perempuan?
Ah itu terserah masing-masing. Merasa dijajah tidak?
[tertawa]. Sebenarnya, jaman dulu kita dijajah Belanda.
terhadap poligami?
Tidak penting. Dalam arti begini, Anda bayangkan. Kita
boleh punya istri lebih dari satu. Tapi, syaratnya, Anda harus punya perasaan
yang sama dan menafkahinya dengan sama. Kalau secara materi, Anda bisa cari.
Tapi, apakah secara perasaan Anda bisa sama? Jaman dulu
janda perang. Sekarang, pasti karena melihat yang lebih cantik. Terus,
mengatasnamakan daripada berjinah mending kawin lagi. Sebenarnya, poligami itu
susah buat laki-laki. Kita harus mencari nafkah lebih banyak daripada orang
yang punya istri satu. Sekaya-kayanya orang, pasti repot juga. Apalagi buat
perempuannya. Korban perasaan. Jadi, menurut saya, poligami tidak ada sisi
positifnya.
pada laki-laki yang berpoligami yang mengatakan bisa adil terhadap
istri-istrinya?
Wah itu urusan mereka lah. Saya tidak mau bilang
percaya atau tidak. Dia merasa sanggup. Saya tidak akan pernah bilang, Anda
jangan poligami. Kalau dia sanggup, silakan. Itu urusan dia, istrinya dan
Tuhan.
punya obsesi untuk membuat pertunjukkan musik yang menggambarkan perjalanan
film
Wah, tahu dari mana? Itu cita-cita saya sejak dulu.
Cuma belum kesampaian. Terlalu mahal mungkin. Saya membutuhkan orang-orang yang
secara finansial. Ini belum tentu menguntungkan. Orangnya harus mau capek.
Soalnya, harus mencari arsip lagu-lagu dari film jaman dulu. Dan saya belum
menemukan orang yang bisa bekerjasama untuk itu. Itu penting. Saya Cuma ingin
tahu, perkembangan musik dan film itu seperti apa? Maju atau mundur? Biar orang
menilai sendiri. Bayangan saya, pertunjukkannya itu di hanggar pesawat, Halim
Perdanakusumah lah. Dari suasana masuk ke
sudah berbeda. Ingin buat kesan
jaman dulu. Konsepnya tuh besar sekali. Dan kontinyu, musiknya tanpa ada MC.
Beres satu band langsung band lain bermain. Bisa dibayangkan berapa biayanya? Saya
belum menemukan partner yang mau banting tulang. Saya Cuma ingin menunjukkan
kalau
punya seniman-seniman yang bagus. Saya ingin anak-anak sekarang juga tahu. Jangan
cuma musisi dari luar saja mereka tahu. Itu bisa menambah wawasan baru.
Anda bermain juga
di Jakarta Undercover, apakah dalam kehidupan nyata, Anda akrab dengan dunia
seperti itu?
Saya suka jalan-jalan di klub. Mabuk iya.
Hancur-hancuran begitu, saya juga merasakan. Saya pernah nonton striptease,
tapi bukan yang aneh-aneh. Saya tahu kehidupan malam
Undercover” jadinya sudah pernah tahu. Paling, saya observasi. Karena ada
beberapa klub di film itu yang ada hubungannya dengan klub-klub banci. Saya
belum pernah ke klub homo dan klub banci. Makanya, observasi.
Anda homophobic
atau banciphobic?
Oh tidak. Tapi, saya terus terang saja. Takut banci
Taman Lawang. Pernah punya pengalaman buruk. Satu waktu, ketika lewat di Taman
Lawang, seorang banci tiba-tiba masuk mobil teman saya. Karena kami baik, ya
sudah kami ajak muter-muter. Tiba-tiba dia minta duit. Padahal kami tidak
ngapa-ngapain. Begitu kami tidak kasih, dia mengancam mau menghancurkan kaca
pakai sepatu. Itu membuat saya takut. Tampilan sih, tidak membuat saya takut. Sekarang,
kalau lewat ke
suka teringat lagi. Makanya, saya malas lewat Taman Lawang. Kalau sedang macet
tiba-tiba ada banci yang masuk lagi, bagaimana? Tidak tahu tuh banci masih ada
di
tidak. Yang jelas, saya masih ingat mukanya.
Ayah Anda pernah
menyuruh Anda belajar memainkan biola?
Dia tidak pernah memaksakan. Waktu saya mau belajar
main biola pun, saya yang mau sendiri. Tapi, dia
pilihan saya, dia akan membuat saya jadi yang terbaik. Karena itu pilihan saya,
maka saya tidak boleh setengah-setengah. Seperti saya di film, jadi yang bagus
beneran. Jangan setengah-setengah. Makanya, waktu belajar biola, gemblengannya
gila-gilaan. Jam
pagi, saya main biola setengah jam. Sore, baru saya belajar notasi. Kalaupun
dia tidak ada, saya disuruh merekam. Malamnya, dia cek.
Gambarkan sosok
Idris Sardi dalam satu kalimat!
Dia orang yang perfeksionis sekali. Itu sudah bisa
menggambarkan semuanya.
Bagaimana rasanya
hidup di keluarga yang besar dengan seni, apakah seni di keluarga besar Anda
jadi sesuatu yang sangat penting sehingga Anda harus terjun ke dunia seni untuk
pembuktian diri?
Nggak ada. Justru awalnya saya tidak mau ke dunia seni.
Apalagi tipikal orang
itu selalu membanding-bandingkan misalnya, orangtua dengan anaknya. Saya sangat
tidak suka itu. Karena tiap orang punya jalannya masing-masing. Kebetulan
memang saya sejak kecil lingkungannya begitu. Tapi, ayah saya tidak
mengharuskan anaknya jadi seniman. Dia Cuma berpikir, kamu harus punya
pendidikan. Setelah itu mau jadi apa, terserah. Tapi jadi orang benar. Karena
ayah saya punya prinsip, setiap punya sesuatu, let say di kantor, ya harus punya tanggung jawab. Kerja yang benar!
Lingkungan keluarga memang berpengaruh, mau tidak mau masuk di kepala. Akhirnya
saya suka seni. Tapi bukan jaminan, punya keluarga seni, pasti jadi seniman.
Anda tidak suka
dibanding-bandingkan dengan sosok Idris Sardi?
Orang punya kebebasan untuk membandingkan saya dengan
dia. Tapi, saya tidak suka. Ngapain sih?
Tiap orang
punya ini masing-masing. Kadang-kadang, ada orang yang bilang, ‘Kenapa lo nggak
di musik? Karena takut dibandingin ya?’ Bukan karena itu juga. Saya lebih ke
film. Musik, hobi. Tapi saya tidak merasa itu jadi dunia saya.
Seberapa sering
Anda dibandingkan dengan Idris Sardi?
Kadang-kadang sering juga. Saya baru mengalaminya
beberapa hari yang lalu. Waktu syuting di salah satu stasiun TV. Menurut saya,
orang ini—saya tidak bisa menyebutkan nama—yang sudah terpandang. Seharusnya,
dari dia tidak keluar kata-kata itu. Jadi, waktu itu taping di TV dengan
orang-orang yang sudah lama di TV. Itu berbeda dengan syuting film. Saya orang
baru.
adegan yang mengharuskan saya menyesuaikan dengan musiknya. Di belakang saya
ada penari. Saya masih bingung. Tiba-tiba, orang itu bilang, ‘Gue pikir lo
anaknya pemusik, tapi lo nggak tau musik!’ Nah, itu menurut saya tidak baik.
Dia orang terpandang, kok bisa bicara begitu? Dia tidak tahu situasi saya yang
sedang berusaha menyesuaikan. Itu sesuatu yang menggelikan buat saya. Terus
terang, saya agak tersinggung. Karena bukan berarti sekarang, misalnya ada anak
maling. Kamarnya terkunci, dan tidak bisa buka. Katanya anak maling, kok tidak
bisa buka kamar. Itu aneh. Menurut saya, tiap orang punya kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Bukan berarti kalau ayah Anda kyai lantas tahu segala
sesuatu tentang agama.
Sempat ada
pikiran Anda menanggung beban sebagai anak Idris Sardi?
Awalnya ya. Cuma, habis itu, saya tidak ambil pusing.
Karena kalau terus begitu, nanti saya tidak maju. Sempat ada proses. Dulu
sempat sekolah musik, belajar biola. Jadi, ada beban sendiri. Tapi itu justru
menghambat saya. Jadi, saya tidak bisa lepas untuk melakukan sesuatu. Akhirnya,
saya ambil sisi postistifnya. Ini saya. Anda tidak bisa samakan saya dengan
Idris Sardi. Tapi, kadang-kadang menyenangkan juga. Jadi anak orang yang
dikenal. Misalnya, ada beberapa fasilitas yang didapat. Masing-masing ada sisi
menyenangkan dan tidak. Saya ambil saja jalan tengahnya. Saya jadi diri saya
sendiri. Apapun yang orang katakan.
Main film untuk
apa?
Pertama, sudah pasti, mencari pekerjaan selain untuk
menafkahi diri sendiri, tapi juga harus cari kepuasan batin. Yang paling
penting, sebenarnya saya mendapat kepuasan batin dari itu. Kalau dalam film pun
begitu. Misalnya, ada satu situasi, yang budget-nya tidak terlalu besar, tapi
saya nyaman sekali di
ceritanya bagus, buat saya justru tidak masalah. Kepuasan batin yang saya cari.
Buat apa harus capek, tapi saya tidak puas?
Arti seni buat
Anda?
Keindahan. Saya selalu mencari keindahan lewat seni. Karena
menurut saya, seni itu datangnya dari rasa. Melukis dari rasa. Main film dari
rasa. Main musik dari apa yang Anda rasakan. Semua itu keluar dari rasa.
Datangnya dari Tuhan. Semua indah. Walaupun rasa marah.
Di antara semua
karakter yang pernah Anda mainkan, mana yang jadi favorit Anda?
Semuanya favorit. Karena saya merasakan sesuatu yang
berbeda. Di “Gie”, saya memerankan orang yang masih hidup. Mau tidak mau,
auranya harus sampai. “9 Naga”, itu berbeda perannya dengan karakter
sebelumnya. Terus masuk “Berbagi Suami”. Masuk lagi “Jakarta Undercover”. Keuntungannya,
saya selalu dapat peran yang selalu berbeda.
Apa rasanya punya
keluarga besar?
Senang. Karena banyak saudara. Akhirnya teman-teman
saya bilang, ‘Lukman mah saudaranya se-Jakarta. Jalan ke sini saudara. Jalan ke
Hubungan saya dengan keluarga yang lain, baik. Oke sisi jeleknya, kawin cerai.
Tapi sisi positifnya, banyak yang sayang saya. Sampai ada yang bilang, ‘Man
kalau menikah di lapangan bola saja. [tertawa].