Saturday, August 26, 2006

Dicari: Kritikus Musik Lokal!


Ini bukan kritik. Ini hanya unek-unek.

Suatu hari, seorang kawan mengeluh. Album kompilasi yang dia produksi, tidak mendapat review yang asik dari salah satu majalah musik ibukota. Tidak. Bukan karena dibilang buruk. Tapi, si penulis review hanya mendeskripsikan kelompok musik serta alirannya. Tanpa mengatakan dengan jelas kualitas album itu.

Saya hanya cengengesan mendengar keluhan dia. Sebagai jurnalis, saya tau kalau menulis review itu salah satu pekerjaan yang tidak mudah. Tapi, saya juga tau rasanya jadi pembaca. Orang berharap penulis review bisa memberi gambaran apakah album itu bagus atau tidak.

Lantas saya teringat kata salah satu narasumber skripsi saya soal majalah musik di Indonesia. Salah satu penyebab tidak banyak majalah musik yang bertahan lama, karena kurangnya kritikus musik. Coba saja, sekarang kalau kamu ditanya siapa jurnalis atau kritikus musik asal Indonesia yang cukup disegani, apakah kamu bisa menjawabnya? Saya rasa agak susah.

Era ’70-an nama Remy Sylado pernah menempati posisi itu ketika aktif. Denny MR juga pernah berjaya di masa keemasan majalah Hai di era ’90-an. Tapi sekarang? Oke, ada beberapa nama seperti Denny Sakrie yang cukup disegani di kalangan tersendiri. Hanya, harus diakui Indonesia tidak punya kritikus musik sekelas Lester Bangs misalnya. Jurnalis-jurnalis muda dari Rolling Stone Indonesia sepertinya punya kesempatan untuk jadi kritikus/jurnalis musik yang disegani. Tapi, waktu yang akan menjawabnya.

Andreas Harsono, Ketua Yayasan Pantau [yayasan yang menaruh perhatian besar terhadap jurnalisme] berkata pada saya suatu hari, “Salah satu penyebab jurnalisme musik di Indonesia tidak berkembang, karena tidak ada independensi. Wartawan musik merangkap humas si musisi. Jadi penyelenggara konferensi pers. Hobinya kan reporter juga humas, talent seeker dan teman artis.”

Ucapan dia mengingatkan saya pada perkataan Lester Bangs di film Almost Famous. “You made friends with them. See, friendship is the booze they feed you. They want you to get drunk on feeling like you belong…I know you think those guys are your friends. You wanna be a true friend to them? Be honest, and unmerciful,” kata Bangs kepada jurnalis muda bernama William Miller.

Sekarang, jangan bermimpi dulu kita disuguhkan oleh kolom musik yang berkelas, review album atau review konser yang memikat saja masih jarang. Coba, kapan terakhir kamu membaca review penulis lokal hingga membuat kamu tergerak membeli album yang direview dia? Atau, kapan terakhir kamu baca kolom musik di majalah lokal? Majalah musik terbitan luar biasanya punya ruang untuk kolom musik. Dari ruang-ruang itulah, kritikus musik yang disegani, muncul. Bukan cuma review, pelaporan mendalam soal musik dengan standar jurnalisme yang tinggi malah datang dari media yang bukan berbasis musik.

Lantas, soal berteman dengan narasumber. Itu bukan sesuatu yang buruk. Hanya, maksud dari perkataan Lester dan Andreas, adalah jangan lantas jurnalis menjadi tidak independen. Tapi, ini juga masih kurang dipahami beberapa musisi lokal. Saya punya pengalaman soal ini. Vokalis band yang musiknya terpengaruh kuat era ’80-an pernah bertanya pada teman saya, setelah album terakhir band itu saya tulis jelek. “Si Soleh kok bilang album gue jelek ya? Kan dia kenal gue,” katanya. Lagi-lagi, saya hanya bisa cengengesan mendengar cerita teman saya. Secara musikalitas mereka memang makin menurun. Lebih bagus jadi MC. Kurang diskusi. Kalau kamu sudah tau band mana yang saya maksud, mungkin kamu juga setuju dengan saya. Kecuali tentu saja kamu bagian dari banyak perempuan yang belakangan jadi penggemar band itu.

Bahkan kelompok musik dengan basis massa yang sangat besar pun, pernah kesal karena di salah satu edisi majalah tempat saya bekerja dulu, dikritik video klip mereka yang buruk. Sempat terjadi ‘keributan’ di kantor manajemen mereka setelah tulisan itu dimuat. Pernah, di tahun 2001, vokalis pemuja Kahlil Gibran meminta salah satu tabloid menulis ulang profil dia. Setelah sebelumnya penulis musik di sana mengritik betapa album solo dan album band dia tidak jauh berbeda.

Saya percaya, tidak ada benar dan salah dalam musik. Maksudnya, walaupun katanya cuma ada dua musik—baik dan buruk—lagi-lagi, itu masih relatif. Ini bukan ilmu pasti. Tapi, kritik musik harusnya bisa menjadi sesuatu yang bisa dipikirkan musisi lokal. Supaya bisa lebih baik lagi dalam berkarya. Mungkin musisi lokal masih harus belajar menghadapi kritik. Mungkin juga jurnalis-jurnalis musik lokal harus banyak belajar membuat tulisan soal musik yang lebih baik lagi.

Termasuk saya tentunya.

*saya menyumbangkan tulisan di atas untuk edisi perdana majalah Encore. Majalah indie terbitan anak-anak Bandung.

Friday, August 25, 2006

Dicari: Kritikus Musik Lokal!





































Ini bukan kritik. Ini hanya unek-unek.



Suatu hari,
seorang kawan mengeluh. Album kompilasi yang dia produksi, tidak mendapat
review yang asik dari salah satu majalah musik ibukota. Tidak. Bukan karena
dibilang buruk. Tapi, si penulis review hanya mendeskripsikan kelompok musik
serta alirannya. Tanpa mengatakan dengan jelas kualitas album itu.



Saya
hanya cengengesan mendengar keluhan dia. Sebagai jurnalis, saya tau kalau
menulis review itu salah satu pekerjaan yang tidak mudah. Tapi, saya juga tau
rasanya jadi pembaca. Orang berharap penulis review bisa memberi gambaran
apakah album itu bagus atau tidak.




Lantas
saya teringat kata salah satu narasumber skripsi saya soal majalah musik di Indonesia.
Salah satu penyebab tidak banyak majalah musik yang bertahan lama, karena
kurangnya kritikus musik. Coba saja, sekarang kalau kamu ditanya siapa jurnalis
atau kritikus musik asal Indonesia
yang cukup disegani, apakah kamu bisa menjawabnya? Saya rasa agak susah.



Era
’70-an nama Remy Sylado pernah menempati posisi itu ketika aktif. Denny MR juga
pernah berjaya di masa keemasan majalah Hai di era ’90-an. Tapi sekarang? Oke,
ada beberapa nama seperti Denny Sakrie yang cukup disegani di kalangan
tersendiri. Hanya, harus diakui Indonesia
tidak punya kritikus musik sekelas Lester Bangs misalnya. Jurnalis-jurnalis
muda dari Rolling Stone Indonesia sepertinya punya kesempatan untuk jadi
kritikus/jurnalis musik yang disegani. Tapi, waktu yang akan menjawabnya.



Andreas
Harsono, Ketua Yayasan Pantau [yayasan yang menaruh perhatian besar terhadap
jurnalisme] berkata pada saya suatu hari, “Salah satu penyebab jurnalisme musik
di Indonesia
tidak berkembang, karena tidak ada independensi. Wartawan musik merangkap humas
si musisi. Jadi penyelenggara konferensi pers. Hobinya kan reporter juga humas, talent seeker dan teman artis.”



Ucapan
dia mengingatkan saya pada perkataan Lester Bangs di film Almost Famous. “You made friends with them. See, friendship
is the booze they feed you. They want you to get drunk on feeling like you
belong…I know you think those guys are your friends. You wanna be a true friend
to them? Be honest, and unmerciful
,” kata Bangs kepada jurnalis muda
bernama William Miller.



Sekarang,
jangan bermimpi dulu kita disuguhkan oleh kolom musik yang berkelas, review
album atau review konser yang memikat saja masih jarang. Coba, kapan terakhir
kamu membaca review penulis lokal hingga membuat kamu tergerak membeli album
yang direview dia? Atau, kapan terakhir kamu baca kolom musik di majalah lokal?
Majalah musik terbitan luar biasanya punya ruang untuk kolom musik. Dari
ruang-ruang itulah, kritikus musik yang disegani, muncul. Bukan cuma review, pelaporan
mendalam soal musik dengan standar jurnalisme yang tinggi malah datang dari
media yang bukan berbasis musik.



Lantas,
soal berteman dengan narasumber. Itu bukan sesuatu yang buruk. Hanya, maksud
dari perkataan Lester dan Andreas, adalah jangan lantas jurnalis menjadi tidak independen.
Tapi, ini juga masih kurang dipahami beberapa musisi lokal. Saya punya
pengalaman soal ini. Vokalis band yang musiknya terpengaruh kuat era ’80-an
pernah bertanya pada teman saya, setelah album terakhir band itu saya tulis
jelek. “Si Soleh kok bilang album gue jelek ya? Kan dia kenal gue,” katanya. Lagi-lagi, saya
hanya bisa cengengesan mendengar cerita teman saya. Secara musikalitas mereka
memang makin menurun. Lebih bagus jadi MC. Kurang diskusi. Kalau kamu sudah tau
band mana yang saya maksud, mungkin kamu juga setuju dengan saya. Kecuali tentu
saja kamu bagian dari banyak perempuan yang belakangan jadi penggemar band itu.



Bahkan kelompok
musik dengan basis massa yang sangat besar pun, pernah kesal karena di salah
satu edisi majalah tempat saya bekerja dulu, dikritik video klip mereka yang buruk.
Sempat terjadi ‘keributan’ di kantor manajemen mereka setelah tulisan itu
dimuat. Pernah, di tahun 2001, vokalis pemuja Kahlil Gibran meminta salah satu
tabloid menulis ulang profil dia. Setelah sebelumnya penulis musik di sana
mengritik betapa album solo dan album band dia tidak jauh berbeda.



Saya percaya,
tidak ada benar dan salah dalam musik. Maksudnya, walaupun katanya cuma ada dua
musik—baik dan buruk—lagi-lagi, itu masih relatif. Ini bukan ilmu pasti. Tapi,
kritik musik harusnya bisa menjadi sesuatu yang bisa dipikirkan musisi lokal.
Supaya bisa lebih baik lagi dalam berkarya. Mungkin musisi lokal masih harus
belajar menghadapi kritik. Mungkin juga jurnalis-jurnalis musik lokal harus
banyak belajar membuat tulisan soal musik yang lebih baik lagi.



Termasuk saya
tentunya.



*saya menyumbangkan tulisan di atas untuk edisi perdana majalah Encore. Majalah indie terbitan anak-anak Bandung.








Thursday, August 24, 2006

Pemberian Anugerah [Selalu] Tidak Meriah

Malam tadi, ada Anugerah Video Musik 2006 di Indosiar.

Seperti banyak acara serupa di Indonesia, acara itu tidak meriah. Malah, sepertinya yang paling tidak meriah dari sekian banyak malam pemberian anugerah lokal. Acara malam tadi, membuat Penghargaan MTV Indonesia jadi luar biasa meriah. Padahal, event MTVI itu cukup membosankan.

Kalau mau dibandingkan dengan produk Indosiar yang lain, pemberian anugerah tadi malam masih kalah meriah dibandingkan Gebyar BCA atau Pesta.

Setelah Ari Untung dan Andhara Early memberi kata pembuka, The Upstairs jadi yang pertama tampil di Anugerah Video Musik 2006. Mengecewakan. Karena mereka tidak tampil langsung. Hanya playback. Acara pemberian anugerah kok, dibuka dengan seperti itu.

Ternyata, bukan mereka satu-satunya yang seperti itu. Penampil lain seperti Steven & The Coconutreez, Shanty hingga Naff semuanya tidak bermain live. Saya tidak ingat siapa lagi penampil yang lainnya. Mungkin hanya Batman yang malam itu mengeluarkan suaranya lewat minus one yang diputar.

Jangan berharap ada tepuk tangan meriah. Acara serupa yang biasa digelar stasiun TV lokal, dengan banyak penonton pun, sering tidak meriah. Apalagi ini. Banyak kursi kosong. Belum lagi, kualitas pembaca anugerah yang juga tidak bisa menutupi kekurangan acara itu. Mereka pemain sinetron, model video klip atau penyanyi yang dipasang-pasangkan. Ya kamu tau lah, tipikal acara seperti itu.

Dua orang mencoba melucu sebelum masuk ke pembacaan nominasi. Tapi, bahkan mereka pun saya rasa tau, kalau mereka tidak bisa mengeluarkan dialog yang segar. Rasanya kita masih butuh banyak penulis naskah yang baik untuk acara seperti ini. Yang bisa membuat dialog-dialog yang asik.

Nominasinya? Ini yang saya ingat; video klip Dewa 19 yang Dhani berambut mohawk, Agnes yang jarinya dan jari pacarnya berdarah, Shanty yang bilang tak ada lagi lelaki seperti dia, Peterpan yang Arielnya jadi penjahat, serta Ungu yang hujan-hujanan. Rizal Mantovani membawa pulang banyak piala malam itu. Saya lupa tepatnya.

Shanty dapat penghargaan khusus juri. Entah apa yang dimaksud penghargaan khusus itu. Entah apa kriterianya. Yang jelas, Ketua Jurinya; Bens Leo! Ah, melihat dia saya jadi takut. Maksudnya, takut jadi seperti Bens Leo kalau sudah berkarir lama jadi jurnalis. Bicara musik di mana-mana. Seolah-olah dia yang paling tau soal musik. Padahal...ya kamu jawab sendiri lah.

The Adams untuk lagu "Waiting" dapat penghargaan untuk kategori video musik indie. Cukup menggembirakan sebenarnya. Walaupun videonya tidak sesering video Dewa 19 dkk diputar di televisi. "Piala ini sepertinya bagus buat dipajang di rumah. Henry Foundation ini sutradara muda handal. Jadi hati-hatilah kalian," kata Ale, gitaris The Adams, sambil cengengesan malam itu ketika menerima piala.

Saya tidak tau apa yang dirasakan mereka yang mendapat anugerah. Wajah Shanty, Rizal Mantovani, Ale dan Batman sih, sepertinya girang. Tapi saya masih kurang puas. Walaupun niatnya baik, menghargai video musik lokal, tapi dengan menggelar acara yang seperti kurang persiapan itu, sama saja jadinya kurang menghargai.

Dalam pidatonya, Bens Leo berkata soal sudah jarang acara seperti itu digelar. Blablabla. Dia berterimakasih pada Indosiar telah menggelar acara itu. Kata Leo, video klip sudah jarang diputar di televisi. Kalaupun diputar, seringkali tidak penuh--pengecualian untuk MTV tentunya.

Nah itu sebenarnya yang paling penting! Jangan dulu mengadakan acara penganugerahan video klip musik lah. Kalau stasiun TV nya pun masih belum sering memutar video. Kalau perlu, berikanlah potongan harga untuk perusahaan rekaman yang ingin video musiknya diputar.

Jangan biarkan MTV Indonesia satu-satunya stasiun TV pemutar video klip. Kalau stasiun TV lain kembali menayangkan banyak video klip, mungkin MTVI bakal membuat acara kreatif lainnya. Supaya acaranya tidak membosankan seperti sekarang. Dengan satu-satunya kekuatan mereka, memutar video klip musik. Walaupun sepanjang hari, yang diputar itu lagi itu lagi.

Ah jadi melantur.

Wednesday, August 23, 2006

Pemberian Anugerah [Selalu] Tidak Meriah

Malam tadi, ada Anugerah Video Musik 2006 di Indosiar.



Seperti
banyak acara serupa di Indonesia, acara itu tidak meriah. Malah,
sepertinya yang paling tidak meriah dari sekian banyak malam pemberian
anugerah lokal. Acara malam tadi, membuat Penghargaan MTV Indonesia
jadi luar biasa meriah. Padahal, event MTVI itu cukup membosankan.




Kalau
mau dibandingkan dengan produk Indosiar yang lain, pemberian anugerah
tadi malam masih kalah meriah dibandingkan Gebyar BCA atau Pesta.




Setelah
Ari Untung dan Andhara Early memberi kata pembuka, The Upstairs jadi
yang pertama tampil di Anugerah Video Musik 2006. Mengecewakan. Karena
mereka tidak tampil langsung. Hanya playback. Acara pemberian anugerah
kok, dibuka dengan seperti itu.




Ternyata, bukan mereka
satu-satunya yang seperti itu. Penampil lain seperti Steven & The
Coconutreez, Shanty hingga Naff semuanya tidak bermain live. Saya tidak
ingat siapa lagi penampil yang lainnya. Mungkin hanya Batman yang malam
itu mengeluarkan suaranya lewat minus one yang diputar.




Jangan
berharap ada tepuk tangan meriah. Acara serupa yang biasa digelar
stasiun TV lokal, dengan banyak penonton pun, sering tidak meriah.
Apalagi ini. Banyak kursi kosong. Belum lagi, kualitas pembaca anugerah
yang juga tidak bisa menutupi kekurangan acara itu. Mereka pemain
sinetron, model video klip atau penyanyi yang dipasang-pasangkan. Ya
kamu tau lah, tipikal acara seperti itu.




Dua orang mencoba
melucu sebelum masuk ke pembacaan nominasi. Tapi, bahkan mereka pun
saya rasa tau, kalau mereka tidak bisa mengeluarkan dialog yang segar.
Rasanya kita masih butuh banyak penulis naskah yang baik untuk acara
seperti ini. Yang bisa membuat dialog-dialog yang asik.




Nominasinya?
Ini yang saya ingat; video klip Dewa 19 yang Dhani berambut mohawk,
Agnes yang jarinya dan jari pacarnya berdarah, Shanty yang bilang tak
ada lagi lelaki seperti dia, Peterpan yang Arielnya jadi penjahat,
serta Ungu yang hujan-hujanan. Rizal Mantovani membawa pulang banyak
piala malam itu. Saya lupa tepatnya.




Shanty dapat penghargaan
khusus juri. Entah apa yang dimaksud penghargaan khusus itu. Entah apa
kriterianya. Yang jelas, Ketua Jurinya; Bens Leo! Ah, melihat dia saya
jadi takut. Maksudnya, takut jadi seperti Bens Leo kalau sudah berkarir
lama jadi jurnalis. Bicara musik di mana-mana. Seolah-olah dia yang
paling tau soal musik. Padahal...ya kamu jawab sendiri lah.




The
Adams untuk lagu "Waiting" dapat penghargaan untuk kategori video musik
indie. Cukup menggembirakan sebenarnya. Walaupun videonya tidak
sesering video Dewa 19 dkk diputar di televisi. "Piala ini sepertinya
bagus buat dipajang di rumah. Henry Foundation ini sutradara muda
handal. Jadi hati-hatilah kalian," kata Ale, gitaris The Adams, sambil
cengengesan malam itu ketika menerima piala.




Saya tidak tau apa
yang dirasakan mereka yang mendapat anugerah. Wajah Shanty, Rizal
Mantovani, Ale dan Batman sih, sepertinya girang. Tapi saya masih
kurang puas. Walaupun niatnya baik, menghargai video musik lokal, tapi
dengan menggelar acara yang seperti kurang persiapan itu, sama saja
jadinya kurang menghargai.




Dalam pidatonya, Bens Leo berkata
soal sudah jarang acara seperti itu digelar. Blablabla. Dia
berterimakasih pada Indosiar telah menggelar acara itu. Kata Leo, video
klip sudah jarang diputar di televisi. Kalaupun diputar, seringkali
tidak penuh--pengecualian untuk MTV tentunya.




Nah itu sebenarnya
yang paling penting! Jangan dulu mengadakan acara penganugerahan video
klip musik lah. Kalau stasiun TV nya pun masih belum sering memutar
video. Kalau perlu, berikanlah potongan harga untuk perusahaan rekaman
yang ingin video musiknya diputar.




Jangan biarkan MTV Indonesia
satu-satunya stasiun TV pemutar video klip. Kalau stasiun TV lain
kembali menayangkan banyak video klip, mungkin MTVI bakal membuat acara
kreatif lainnya. Supaya acaranya tidak membosankan seperti sekarang.
Dengan satu-satunya kekuatan mereka, memutar video klip musik. Walaupun
sepanjang hari, yang diputar itu lagi itu lagi.




Ah jadi melantur.



Thursday, August 17, 2006

Setahun Sudah

17 Agustus.

Hari bersejarah buat saya dan pacar. Yah kamu tau lah maksud saya. Tidak perlu diterangkan lebih detil lagi. Hehe. Setahun lalu, hidup saya berubah. Pencarian itu akhirnya berhenti juga. Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya terjawab juga. Tidak ada lagi masa lalu yang menghantui. Tidak ada lagi dendam. Dan yang jelas, tidak ada lagi rasa sepi. Alhamdulillah.

Kata seorang teman, blog saya isinya kisah cinta melulu. Saya tidak tau benar tidaknya. Dia juga tidak bisa menyajikan saya data yang pasti. Berapa perbandingan tulisan soal pacar dan tulisan lain. Mungkin kamu bisa menjawabnya.

Setahun ini sangat menyenangkan. Ini bukti lagi kalau Gusti Alloh Maha Adil. Hehehe. Mudah-mudahan terus begitu. Itu yang saya inginkan. Bete-bete kecil sih, saya anggap seperti lubang di jalan yang sedang kami tempuh. Ah saya tidak ingin menulis lebih banyak lagi. Takut jadi tulisan cinta-cintaan lagi. Saya cuma ingin membaginya dengan kamu.

Doakan kami supaya terus lancar ya.

Wednesday, August 16, 2006

Setahun Sudah

17 Agustus.



Hari bersejarah buat saya dan pacar. Yah kamu tau
lah maksud saya. Tidak perlu diterangkan lebih detil lagi. Hehe.
Setahun lalu, hidup saya berubah. Pencarian itu akhirnya berhenti juga.
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya terjawab juga. Tidak ada lagi masa
lalu yang menghantui. Tidak ada lagi dendam. Dan yang jelas, tidak ada
lagi rasa sepi. Alhamdulillah.



Kata seorang teman, blog saya
isinya kisah cinta melulu. Saya tidak tau benar tidaknya. Dia juga
tidak bisa menyajikan saya data yang pasti. Berapa perbandingan tulisan
soal pacar dan tulisan lain. Mungkin kamu bisa menjawabnya.



Setahun
ini sangat menyenangkan. Ini bukti lagi kalau Gusti Alloh Maha Adil.
Hehehe. Mudah-mudahan terus begitu. Itu yang saya inginkan. Bete-bete
kecil sih, saya anggap seperti lubang di jalan yang sedang kami tempuh.
Ah saya tidak ingin menulis lebih banyak lagi. Takut jadi tulisan
cinta-cintaan lagi. Saya cuma ingin membaginya dengan kamu.



Doakan kami supaya terus lancar ya.