Saya mendapat juara pertama dalam Anugerah Adiwarta Sampoerna 2007, untuk kategori feature seni dan budaya. Alhamdulillah. Ada total 2117 karya berupa tulisan tahun ini. Saya mengirimkan tiga tulisan; "(ak.'sa.ra): skrg," "[Bukan] Kerja Rodi," dan "Menunggu Matinya Majalah Musik."
Dua feature saya masuk final; yang aksara dan yang majalah musik. Nah, yang aksara itulah yang kemudian dipilih Dewan Juri untuk jadi juara. Effendy Ghazali salah satu yang memilihnya. Konon, dia tak suka dengan majalah Playboy. Mungkin ini akhirnya jadi semacam tamparan buat dia. Karena ternyata, tulisan yang dipilihnya, berasal dari majalah yang dia tak sukai. Hehe.
Semua karya yang dikirim ke panitia, diberikan pada Dewan Juri tanpa nama penulis dan medianya. Dengan begitu, juri bisa memilih tanpa terpengaruh nama penulis atau media. Untuk lebih jelasnya, silakan cek www.maverickid.com.
Nah, di bawah ini, tulisan yang dimenangkan itu. Dimuat di Playboy Indonesia, edisi Nopember 2006. Kalau ada waktu, saya upload juga foto di halaman depannya. Tapi, untuk sementara, silakan baca dulu ini.
Oya, awalnya, saya memakai lead; "Tiga anak muda ibukota mencoba menawarkan pilihan lain lewat bisnis yang mereka kelola." Tapi, pemred saya meminta saya mengubahnya.
(ak.'sa.ra): skrg
Potret kaum hipsters Jakarta.
Skinny jeans, kemeja serta celana bermotif kotak-kotak, vest, kacamata bingkai tebal, legging dipadu dengan rok mini, warna pakaian yang saling bertabrakan, sepatu Converse, sepatu Vans, rambut awut-awutan ala Afro, rambut modern bob hingga pony tail! Begitulah penampilan sebagian besar anak muda yang datang ke Hard Rock Café, Jakarta, di akhir Agustus malam itu.
Ini kali kedua aksara records menggelar showcase. Mei lalu, mereka menggelar showcase yang pertama di Barbados Café, Kemang. Sekaligus launching album pertama The Brandals yang di-repackage. Kini, mereka menggandeng trax fm dan mendapat sponsor dari Citibank Clear Card. Selain untuk promosi band rilisan aksara records, ajang itu dijadikan ajang pencarian bakat baru. Maklum, di acara yang bakal digelar sebulan sekali itu, satu band yang belum punya label diberi kesempatan tampil. Tentu saja yang dianggap memenuhi selera musik aksara records.
Tidak seperti banyak pertunjukkan di Hard Rock, yang tampil kali ini bukan kelompok musik papan atas yang penjualannya ratusan ribu hingga jutaan kopi. Itu menjelaskan kenapa banyak anak muda dengan gaya berpakaian yang biasanya sering terlihat pada pertunjukkan musik di Pensi SMA, bar atau klub kecil dengan headliner yang lebih sering dikenal sebagai band indie.
Dan malam itu, mereka datang untuk The Adams yang baru saja merilis album keduanya berjudul V2.05. Untuk standar kelompok musik mana pun, menggelar pesta launching album di Hard Rock, termasuk mewah. Dengan begitu, ini bisa jadi salah satu cara untuk mengukur perkembangan aksara records.
Hard Rock Café penuh sesak. Bisa jadi, ada dua penyebabnya. Acaranya gratis. Lantas penampilnya sudah punya massa yang cukup solid. Maklum, biarpun The Adams belum mencapai popularitas seperti Peterpan atau Slank misalnya, mereka sudah menjajaki banyak panggung dengan modal tiga album kompilasi dan dua album studio.
Album kedua sekaligus menandai resminya formasi terbaru mereka; gitaris/vokalis Ario, gitaris Ale, bassist Arfan, kibordis Kaka, dan drummer Gigih. Sebagian besar yang datang sepertinya memang datang untuk The Adams. Bukan apa-apa, ketika Tika tampil sebelumnya, dan Stereomantic tampil sesudahnya, penonton hanya menyaksikan sambil terdiam. Malah, ada beberapa orang yang bertanya-tanya siapa yang mereka lihat di panggung ketika Tika tampil. Sedangkan ketika giliran The Adams tampil, penonton ikut menyanyikan beberapa lagu yang diambil dari album pertama mereka.
“Kami ingin gerliya nembus pasar mainstream, supaya market-nya bisa dilebarin,” kata Hanin Sidharta, Artist & Repertoire Director aksara records. Singkatnya, A&R adalah pencari bakat dalam sebuah perusahaan rekaman.
Embrio aksara records dimulai ketika Hanin tidak betah kerja kantoran. Sewaktu masih kuliah di jurusan Liberal Arts di Adeplhi University, New York, yang ia masuki di tahun ‘91, Hanin sempat pulang ke Jakarta dan bekerja di perusahaan ayahnya. Karena tidak betah, ia lantas menyelesaikan kuliahnya yang tertunda. Pulang dari luar negeri, Hanin kembali kerja kantoran selama dua tahun, tapi tidak betah juga. Passion-nya pada musik terlalu besar. Ia selalu ingin berbisnis di bidang musik. Setelah bertemu kembali seorang teman yang pernah satu band dengannya, Hanin akhirnya memproduksi album Shelomita. Merasa tidak ada studio rekaman yang bagus di Jakarta, ia dirikan studio Pendulum pada tahun 2002. Modalnya; kira-kira setengah milyar rupiah yang ia pinjam dari ayahnya.
“Ayah Anda percaya?” tanya saya.
“Karena emang dia liat, nggak ngasih apa-apa lagi kali ya,” katanya sambil terbahak.
Tahun 2002, Hanin bergabung dengan aksara bookstore yang waktu itu mulai membuka section musik. Ia lantas menjadi Director of Music Divison dan menjadi salah seorang penanam modal di sana.
“Saya paling kecil share-nya, gitu aja deh,” katanya soal posisinya di sana.
Waktu awal dibuka, aksara music masih belum tertata rapi. Campur aduk dengan toko buku. Album yang dijualnya masih sama dengan banyak toko kaset lain. Aksara kemudian merekrut David Tarigan dan Kartika Saraswita untuk mengelola aksara music.
David adalah salah seorang ikon aksara. Ia musisi sekaligus kolektor musik yang juga pernah mengelola Ripple, salah satu majalah indie di Bandung. Sedangkan Ika, sebelumnya ia pernah melamar untuk jadi part timer sebagai costumer service aksara bookstore. Ia tidak diterima. Suatu hari, Ika bertemu dengan seorang kru aksara bookstore waktu berbelanja piringan hitam di Jalan Surabaya, Ika disuruh melamar kembali ke aksara yang waktu itu akan membuka section musik.
20 Nopember 2002, untuk meresmikan aksara music, diundanglah Mocca, indie pop band keluaran FFWDRecords Bandung yang waktu itu akan rilis album pertamanya, My Diary.
“Gue liat, animonya gokil banget. Gede banget! Terus, kata David, ada scene yang lagi gede-gedenya nih di BB’s Café,” kenang Hanin.
BB’s adalah bar dan café tiga lantai di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempatnya sempit. Jalan masuknya hanya satu. Kalau ada kebakaran, kemungkinan semua yang ada di sana tidak bisa menyelamatkan diri. Di sana, sering digelar acara yang menampilkan DJ-DJ yang memainkan musik new wave dan metal. Dan scene yang sedang besar yang dimaksud David, adalah munculnya band-band kecil yang belum punya album.
“David bilang, nggak ada yang mendokumentasiin nih. Padahal, band-nya bagus. Sayang nih kalau nggak direkam! Makanya, kalau nggak ada si David, nggak ada aksara records,” kata Hanin.
Studio Pendulum pun dimanfaatkan. Band-band dikumpulkan untuk dimasukan dalam album kompilasi. Bukan pekerjaan mudah mengumpulkan sebelas band. Apalagi pengerjaan sebagian besar proses rekamannya, menunggu studio kosong. Akhirnya, tahun 2003, rilisan pertama aksara records keluar. Album kompilasi berjudul JKT:SKRG. Pengisinya; The Adams, The Brandals, C’mon Lennon, Ruang Hampa, Sajama Cut, The Sastro, Seringai, Sore, Teenage Death Star, The Upstairs dan Zeke & The Popo. Rilisan ini dianggap salah satu album indie terbaik di tahun 2003.
“Gue tanya Hanin, gimana? Rilis aja lah. Kan toko buku, masih ada benang merahnya sama CD lah. Dulu, nggak ada orangnya. Cuma gue sama Hanin. Nggak ada pikiran mau bikin label proper gitu. Akhirnya mau nggak mau, respon orang bagus, sayang juga,” kata David.
Setelah JKT:SKRG, produk kedua aksara records adalah The Adams. Itu pun di luar rencana sebenarnya. Suatu hari, anak-anak The Adams bilang pada Hanin soal rencana mereka mencetak album pertamanya sebanyak seribu kopi. Karena materinya dianggap bagus, lantas aksara records membiayai produksi album itu.
Tapi, sebagai label, aksara records baru benar-benar terbuka jalannya ketika merilis soundtrack film Janji Joni. Kesuksesan album Janji Joni benar-benar memperluas pasar aksara records.
“Waktu itu, Vivian Idris, marketing kami ngasih denger JKT: SKRG ke Nia Dinata. Ada lagunya Teenage Death Star, yang judulnya [I Got] Johnny In My Head. ‘Wah, ini pas banget sama energinya’ kata Nia. Akhirnya Nia mau buat soundtrack. Filmnya laris. Band-band keangkat. Apalagi lagu Senandung Maaf punya White Shoes. Sama lagunya The Adams,” kata Hanin.
Aksara records baru mulai benar-benar belajar jadi label yang benar ketika merilis album perdana White Shoes & the Couples Company. Mereka bekerjasama dengan Universal Music Indonesia di album itu. Kini, selain The Adams dan White Shoes, aksara records punya nama-nama antara lain; Tika, Sore, Goodnight Electric, The Brandals, Ape on the Roof dan Stereomantic.
Kalau kebetulan semuanya berasal dari Jakarta, itu karena paling mudah secara teknis. Kantor aksara records juga berada di gedung yang sama dengan studio Pendulum. Akhirnya, banyak orang nongkrong di sana. David jadi sering ikut dalam proses kreatif band-band itu. Intinya, prosesnya tidak berlangsung dingin.
“Gue nggak mau bilang komunitas. Karena emang, lingkungan yang kami punya kali ya. Secara nggak langsung emang begitu. Tongkrongan banget sih tempatnya. Ada semua di situ. Bertukar pikiran. Akhirnya kami berproses bareng-bareng,” kata David.
Ini bukan sesuatu yang baru sebetulnya. Pertengahan tahun ’90-an, di gang Potlot, markas Slank, pernah ada komunitas begitu. Musisi berkumpul. Saling bertukar pikiran. Maka muncullah nama seperti Kidnap Katrina, Oppie Andaresta hingga Imanez. Walaupun sekarang, tempat itu lebih dikenal sebagai tempat berkumpulnya Slankers alias penggemar fanatik Slank.
Seperti halnya Slank di awal kemunculannya, aksara records juga mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda. Yang di luar mainstream. Hanin pernah mencoba berbisnis dengan mengikuti selera pasar ketika merilis album Shelomita. Ketidaksuksesan album itu membuatnya berpikir kembali. Makanya, ia mencoba membuat pasar sendiri.
Kini, band indie mulai dapat perhatian dari publik yang lebih luas. Beberapa bulan lalu, LA Lights menggelar kompetisi band yang mereka beri nama LA Lights Indie Fest. The Upstairs, dikontrak Warner Music Indonesia. Video klipnya mulai masuk chart MTV Ampuh. Walaupun jarang diputar di televisi, video musik The Adams mendapat penghargaan video musik indie terbaik versi Anugerah Musik Indonesia 2006 yang diadakan Indosiar.
Aksara records punya peranan di sana. Ikut dalam usaha membuat banyak band indie diterima publik lebih luas. Juga ikut diuntungkan oleh kondisi ini. “Tantangan terbesar kami sekarang, adalah distribusi dan marketing. Kalau begitu, kami harus professional. Se-mainstream mungkin. Makanya, kalau nggak dibantu sponsor nggak mungkin sebesar sekarang,” kata Hanin.
Tidak hanya soal musisi yang dikontrak, album yang ditawarkan di aksara music pun di luar mainstream. Setidaknya, album-album yang dijumpai di sana, kemungkinan besar jarang dijumpai di toko kaset lain. Tidak ada batasan umur dari target pasar mereka. Yang jelas, orang-orang yang ingin sesuatu yang baru. Ibaratnya, mereka yang pernah melihat video klip Interpol, tapi tidak tahu di mana harus membelinya.
“Serious music lovers lah. Aksara records cuma ngasih alternatif ke Indonesian music lovers. Ini musik kayak gini ada loh. Please check us out! If you like it, buy our albums. If you don’t, buy them anyway,” kata Hanin sambil tertawa.
David punya gambaran lebih detil soal target pasar mereka. Pertama, yang baca majalah musik. Mereka yang membaca soal album baru, dan ingin mencari di sana. Kedua. anak muda. Karena musiknya sangat anak muda. Ketiga, ini traffic, di Kemang. Banyak ekspatriat dengan latar belakang macam-macam. Datang ke sana, ngobrol, memberi apresiasi.
Bagi serious record buyers, kehadiran section musik di aksara benar-benar membantu. Banyak album yang tadinya hanya bisa dibeli lewat internet, bisa dicari di sana. Tidak terlalu luas memang. Hanya menempati duapuluh persen dari seluruh aksara bookstore. Tapi benar-benar segmented.
“Ini bentuk kekecewaan kalian terhadap record store yang ada?” tanya saya pada David.
“Gue lebih mikirin ke passion sih. Keasyikan kami. Kesukaan kami terhadap good music mungkin. Hahaha. Good pop music,” jawabnya.
David dan Ika, adalah yang bertugas mengurusi album apa saja yang dijual aksara music. Ika menyebut musik aksara dengan satu kata; hip! Harus yang bisa diterima, tapi tidak boleh mainstream.
“Ada yang bilang, aksara tempat berkumpul hipster ibukota,” kata saya.
“Ya bisa-bisa aja sih,” jawab Ika sambil tersenyum.
***
Hipster, menurut wikipedia, adalah orang yang biasanya selalu dihubungkan dengan subkultur yang dianggap hip; keren, trendy, fashionable. Istilah hip awalnya digunakan tahun ’40-an di Amerika Serikat untuk mendeskripsikan penggemar jazz. Swing Street, New York City asal dari istilah itu. Waktu itu, musisi Jazz menggunakan kata hep dan hepcat untuk menyebut diri sendiri dan mereka yang “mengerti jazz”. Hep, bentuk awal dari kata hip. Cat/kat, digunakan untuk menyebut “orang”. Jadi, hip kat atau hepcat adalah orang yang kekinian atau up to date.
Seiring dengan meningkatnya popularitas musik jazz di kalangan squares [mereka yang tidak mengerti], serta banyak para squares ini memakai istilah itu, para musisi mulai menggunakan kata “hip”. Untuk membedakan mereka dari fans dan squares. Adalah Harry Gibson, pianis terkenal di Swing Street, yang menemukan istilah hipster. Dia memanggil penontonnya dengan “all you hipsters”. Ini membuat musisi lain memberinya julukan “The Hipster” sekitar tahun 1940. Pada tahun 1944, Gibson merekam “Handsome Harry, The Hipster”. Sejak saat itu, istilah hipster pun menyebar.
Dalam arti yang sesungguhnya, original hipsters adalah para musisi jazz dan swing di tahun 1940-an, atau pecinta musik tersebut, ketika musik “hip” masih diasosiasikan dengan musik orang African-American. Walaupun hipsters bisa kulit hitam atau kulit putih, istilah itu belakangan lebih sering digunakan untuk orang kulit putih pecinta musik, groupies, dan anggota dari apa yang disebut Bohemian Set, atau Beat Generation.
Penggunaan istilah hipster untuk orang kulit putih yang menyukai segala hal yang avant-garde dan kebudayaan African-American dipopulerkan oleh Norman Mailer pada tahun 1956. Ia menulis essay berjudul The White Negro: Superficial Reflections on the Hipster. Kadang, hipster juga disebut sebagai beatniks—diambil dari the Sputnik, satelit Rusia. Istilah ini ditemukan Herb Caen, kolumnis dari San Francisco.
Masuk di tahun ’60-an, istilah hipster tidak lagi digunakan karena munculnya istilah hippies. Lantas, sejak akhir ’90-an, kata hipster muncul kembali sebagai istilah untuk para musisi dan pecinta indie rock dan downtempo electronica, serta jenis musik dan fashion yang berhubungan dengannya. Aksesoris stereotype modern hipster biasanya mencakup scooter Vespa, kacamata model Buddy Holly, sabuk putih, keanggotaan di band lokal, sepatu Converse, serta pakaian vintage.
Modern day hipsters memuja retro fashions, independent music and film, komik alternatif, serta bentuk ekspresi lain di luar mainstream. Mereka sering dihubungkan dengan indie culture. Secara umum, trendsetters dalam fashion biasa disebut hipsters juga. Walaupun penggunaan istilah ini berbeda dengan hipster subkultur, yang selera fashion-nya spesifik dan biasanya tidak ditujukan untuk mainstream. Tidak seperti generasi hipsters sebelumnya, mereka sekarang jarang diasosiasikan dengan scene musik jazz. Walaupun istilah itu kembali digunakan karena adanya swing revival dan lounge revival pada pertengahan tahun ’90-an.
Ada beberapa modern day hipsters yang bahkan tidak benar-benar butuh pekerjaan [dan seringkali disokong orangtuanya]. Hipster jenis ini sering disebut sebagai TFB atau Trust Fund Baby. Karena kondisi keuangan yang stabil, ketika bekerja, mereka biasanya memilih tempat yang memungkinkan untuk berinteraksi dengan hipsters lain, seperti toko musik alternatif, coffee shop atau bar. Nah, mereka inilah yang agaknya jadi target pasar aksara music.
Belakangan, istilah hipster sering jadi bahan olok-olokkan. Kritikan paling umum yang biasa dilontarkan adalah mereka hanya “penggali kebudayaan” yang tidak sekreatif dan seunik yang terlihat. Istilah “Cut and Paste Generation” pun muncul. Karena mereka memuja pakaian dan gaya musik lama, seringkali ironis. Akhirnya, hipster jarang digunakan untuk menyebut jati diri. Kecuali dalam konteks ironis atau mengolok-olok diri sendiri.
***
Ketika saya hubungi untuk meminta janji wawancara, Winfred Hutabarat sempat mengatakan keberatannya. Alasannya, “It’s not you. It’s just my thing,” katanya. Tapi, ia luluh juga. Walaupun dengan catatan; tanpa difoto.
Bicara aksara, bicara Winfred. Tahun 1997, Winfred terpikir untuk membuka toko buku impor. Waktu itu ia masih kuliah di Amerika Serikat dan sedang berlibur di Jakarta. Ia merasa kalau kota metropolis seperti Jakarta belum punya toko buku impor yang bagus. Tapi, krisis moneter tiba-tiba datang. Dan ide itu pun tertunda. Ketika tahun ’99 ia pulang ke Indonesia, ia “mengunjungi” kembali ide itu bersama Arini S. Subianto.
Persahabatan Winfred dan Arini dimulai ketika mereka sama-sama kuliah di Amerika Serikat. Winfred mengambil jurusan International Relations. Arini mengambil jurusan Fashion Design.
Untuk mewujudkan idenya, mereka mencari lokasi sama-sama. Kemang pun disepakati jadi lokasi yang tepat. Harganya cocok. Lokasinya di tengah. Dan cukup accessible untuk orang-orang Selatan. Arini juga ingin membuka tokonya di daerah di mana orang bisa berjalan kaki. Waktu itu belum banyak toko di Kemang. Kalaupun sekarang jadi daerah yang ramai oleh toko, itu di luar dugaan Arini.
Seperti halnya Hanin, Winfred dan Arini mendapat pinjaman uang dari keluarga untuk menjalankan bisnisnya. Berapa modalnya, mereka enggan menyebutkan. Yang jelas, kata Arini, dibandingkan toko buku lainnya, modal mereka tidak besar.
“Makanya kami berdua harus tetep teka-teki saja. Gimana caranya dengan segitu, we can get the best selection, we can get the best deal, we can provide the best atmosphere,” kata Arini.
Soal model, Winfred dan Arini mengambilnya dari toko-toko buku yang sering mereka lihat sewaktu kuliah. Setiap summer, mereka berlibur di daerah Selatan. Karakter dari toko-toko di sana cukup casual, tidak perlu rapi, yang penting warm.
“Kami terinspirasi oleh konsep toko yang independent. Yang memungkinkan kami selling product that unique, yang tidak terlalu komersil. Juga punya karakter sendiri. Dari berbagai macam toko lah, inspirasinya,” kata Winfred.
Bedanya, Winfred dan Arini tidak ingin buku yang dijual menumpuk seperti di kebanyakan toko buku independent itu. Plus, mereka berdua sama-sama tertarik pada arsitektur. Karenanya, design jadi salah satu unsur yang diperhatikan. Tidak tanggung-tanggung, Andra Matin, salah satu arsitek muda terbaik Indonesia dengan gaya modern minimalis, dipercaya untuk mendesaiin toko mereka.
Oktober ’99, Winfred membuka aksara bookstore. Di lokasi yang sama, Arini membuka prodak, toko furniture dan gifts. Dua toko itu masih dipisahkan oleh sekat. Belum terpikir untuk membuka sekat dan menggabungkan dua toko yang berbeda itu. Akhir 2002, Hanin bergabung. Seperti juga Arini, Hanin kenal Winfred ketika sekolah di luar negeri. Kalau kebetulan ke Jakarta, mereka sering pergi ke pesta yang sama.
Atas saran Hanin, tahun 2002, aksara dan prodak digabung menjadi aksaraprodak. Sekat itu dibuka. Tahun 2003, aksara cabang Cilandak Town Square dibuka. Tahun 2004, aksara membuka cabangnya di Plaza Indonesia. Tahun 2004, dua perusahaan aksara dan prodak resmi bergabung. Belakangan, nama aksaraprodak tidak lagi dipakai. Untuk memperkuat brand, mereka memutuskan memakai nama aksara saja. Dengan variannya; books, music, gifts, homewares. Mei 2006, aksara menggandeng yang disebut Arini dengan “silent partner”. Mereka membantu menyusun konsep café yang terletak di di lantai dua; Casa.
“Aksara bukan bookstore lagi. Tapi lifestyle store. Ada hip-nya, edukasinya. Hip life style. Kebanyakan orang-orang educated. Filmmakers, orang media yang pengin tahu life style sekarang kayak gimana, udah sampai mana, kami provide,” kata Hanin.
Untuk sampai di tahap itu, tidak semudah membalik telapak tangan. Ketika baru dibuka, masih banyak orang yang belum tahu soal keberadaan aksara bookstore. Salah satu cara yang mereka lakukan untuk menarik orang supaya datang ke sana, adalah dengan mengadakan berbagai kegiatan. Karena mereka berdua suka kebudayaan, maka kegiatan yang digelar berkaitan dengan itu.
Diskusi buku, konferensi pers, pemutaran film, eksibisi karya seni, kumpul-kumpul arsitek, belajar desain, semuanya pernah digelar di sana. Untuk mendukung komik Indonesia, aksara juga punya klab komik, yang tiap bulan membuat komik Indonesia. aksara juga dianggap sebagai salah satu pihak yang mempopulerkan lomografi di Indonesia. aksara juga mendukung desainer lokal dengan memberi ruang untuk meluncurkan produk mereka dan menjual produknya. Walaupun, tentu saja, tidak menjual mass-produced product. Salah satu produk lokalnya, adalah Jenggala, keramik dari Bali yang dibawa ke Jakarta untuk dijual. Sementara soal produk yang dijual, ada proses pengeditan yang cukup panjang. Ada kurasinya. Tidak sembarangan semua barang itu bisa dijual di sana.
“Aksara ingin jadi simpul kultur?” tanya saya.
“Pengin sih pengin. Tapi biarlah terjadi sendiri. Kalau dibilang tujuannya begitu, terlalu pretensius. Kami cuma mengakomodir konsumen kami. Juga mengembalikan fungsi venue ini untuk publik. Untuk aktifitas yang berhubungan dengan youth and urban culture. Kalau bisa dimanfaatkan untuk melakukan aktifitas yang berkaitan dengan art and culture,” jawab Vivian Idris, Director of Marketing.
Secara tidak langsung, akhirnya aksara telah menjalankan fungsi edukasi lewat kegiatan dan produk mereka. Begini, ada tiga anak muda; Winfred dengan passion-nya pada desain, Arini dengan passion-nya pada fashion, dan Hanin dengan passion-nya pada musik. Aksara adalah perpanjangan tangan dari mereka.
“Secara nggak langsung, terjadi mau gimana pun juga. Ibaratnya, kantung budaya. [tertawa]. Gue juga kaget aksara bisa begini. Awalnya kan dulu bookstore. Mau buka section musik nih. Wah, yoi banget nih! Gue seneng banget. Tiba-tiba ada section musik dengan pendekatan yang nggak pernah ada di sini. Record store yang sudah established di Jakarta dengan mungkin jalan Surabaya atau Jalan Cihapit di Bandung mungkin. Ngobrool melulu kerjaannya. Gara-gara itu juga. Ya akhirnya tokonya kebuka. Akibatnya segala kemungkinan masuk. Akhirnya, dengan aksara sebagai tempat aja, ini buat tempat nongkrong anak-anak muda jaman sekarang yang sadar budaya banget. Seneng musik, segala macem. Dari hal musik-musik yang nggak lajim di negara ini, tapi banyak orang yang membutuhkan. Sesuatu yang minor akan menjadi proses pembelajaran. Orang pasti akan menghubung-hubungkan dengan itu,” kata David.
“Kalau boleh dibilang, kami ingin ada semacam edukasi kepada market. Musik tuh nggak begitu aja. Di Jakarta juga bisa ada toko begini, bukan di Paris aja. Barang-barang dijual di sini, sejenis dengan barang-barang yang ada di Paris. Arini dan tim bener-bener riset mencari barang, dengan keliling dunia. Melihat barang-barang yang unik yang belum ada di Indonesia. Tentu saja dengan melihat range harga,” kata Vivian dengan semangat.
Di luar sana, banyak juga orang dengan passion yang sama. Hanya, tidak semuanya punya fasilitas, akses, maupun modal seperti Winfred, Arini atau Hanin. Kehadiran mereka di industri, tentu saja membantu membuka akses buat banyak orang. Akhirnya, ada semacam transfer budaya. Walaupun Winfred mengatakan yang mereka lakukan sebenarnya cuma berusaha menghibur, tapi fulfilling.
“We’re trying to make reading fun. Making product yang tadinya tidak terlalu accessible, lebih accessible,” kata Winfred.
“Kami ingin ngasih liat, what’s out there! Outside Jakarta, yang bisa diadaptasikan di everyday life di Jakarta,” tambah Hanin.
Enam tahun memang masih relatif muda. Tapi, brand aksara sudah punya imej yang kuat. Bagi sebagian orang, aksara jadi salah satu tempat yang harus dikunjungi kalau ada di Jakarta. Pernah, suatu hari, ada orang Surabaya yang sedang ada di Jakarta, terus menelepon kantor aksara. Menanyakan rute ke sana.
“Itu sebenarnya by product, tidak kami rencanakan. tapi akhirnya jadi daya tarik sendiri. Hal-hal begitu cukup menyenangkan. Berarti pesannya sampai. Ada section CD kami yang diapresiasi,” kata Vivian.
Selain musik dan buku, aksara juga pernah menerbitkan aksara majalah. Hanya bertahan beberapa edisi. Karena penggagas sekaligus pemimpin redaksinya harus pindah ke Amerika Serikat.
Untuk sampai saat ini, produk penerbitan mereka baru itu saja. Kalaupun Winfred dan beberapa teman arsitek menerbitkan buku bertema arsitektur dan urban issue, itu diterbitkan oleh publishing company bernama Borneo. Bukan atas nama aksara.
Sampai saat ini, mereka belum terpikir untuk menerbitkan kembali majalah. Biarpun itu sebagai katalog mereka seperti yang dilakukan anak-anak 347 di Bandung. Mereka menerbitkan Ripple, yang awalnya untuk catalog produk mereka, tapi belakangan jadi majalah yang menaruh perhatian besar terhadap scene indie. Mereka pun membentuk Spills Records untuk merilis album dari band yang mereka anggap bagus. Bedanya dengan aksara, 347 berangkat dari toko pakaian serta tidak punya tempat untuk publik berkumpul.
Makanya, ketika bicara aksara, sudah tergambar karakter orang seperti apa yang datang ke sana. Apa yang dikenakannya. Musik apa yang didengarkan.
Yang dilakukan aksara records juga sebenarnya telah dilakukan FFWDRecords Bandung lebih dulu di tahun 1999. Dengan modal kecil, beberapa orang pendiri menyumbangkan uangnya, mendirikan label. Mereka jadi label resmi yang merilis album dari band seperti The Cherry Orchard, Club 8, 800 Cherries hingga akhirnya Mocca yang membuat nama FFWDRecords dikenal dan diakui sebagai label indie yang disegani. Tapi ada yang tidak dimiliki FFWDRecords; venue untuk publik.
Tersedianya fasilitas itulah, yang kemudian mendukung aksara dengan segala kegiatan dan bisnisnya. Di bagian belakang, ada café di mana orang bisa mengakses internet sepuasnya. Tidak sedikit yang sekadar kumpul dengan teman atau mengadakan meeting di sana. Dalam kadar tertentu, komunitas aksara—kalau memang boleh disebut komunitas—sedikit mengingatkan pada komunitas Utan Kayu dengan segala kegiatan kultural-nya. Kegiatan maupun produk di luar mainstream. Hanya mungkin, bedanya aksara mengambil pasar anak muda yang lebih hip.
Arini hanya tertawa ketika mendengar saya bicara soal itu. “Could be. Kalau ada yang bilang begitu, it’s a nice compliment,” katanya.
“Walaupun kami bukan institusi yang punya misi non profit cultural. Misinya, we’re trying to make cultural industry. Lewat retail, aksara records, lewat producing music, sama design product,” tambah Winfred.
“Sebenarnya we don’t take ourselves that seriously untuk events. We want to have fun. Actually, we do what we like. Dan kebetulan yang kami senangi merefleksikan hal-hal yang penting buat aksara. Design, art, culture, musik, film, buku,” kata Vivian.
***
Sudah lewat tengah malam ketika aksara showcase berakhir. Di lantai atas, anak-anak The Adams bercengkerama dengan teman-teman dekat yang datang ke sana. Di luar Hard Rock, puluhan anak muda yang lelah duduk-duduk memadati lorong Plaza Indonesia. Sebagian dari mereka, memakai kaos The Adams yang dijual malam itu. Keberhasilan target Hanin soal memperluas market memang belum bisa diukur. Tapi setidaknya, menembus Hard Rock Café sudah jadi langkah yang tepat untuk label indie macam aksara records memulai langkah melebarkan pasar.
“Kenapa memilih Hard Rock?” tanya saya pada David.
“Ada tempat yang lebih mainstream lagi dari Hard Rock?” dia balik bertanya.