Malam kemarin, langit Jakarta cerah.
Secerah wajah orang-orang yang merayakan datangnya tahun baru di jalan raya, klub, cafe, dan di kaki lima. Bisa jadi, pesta tahun baru memang milik semua kalangan. Untuk satu malam, semua orang agaknya bisa bergembira. Baru tadi malam, saya bisa lihat senyum cerah dari bapak penjual capcay di depan kantor yang ikut merayakan datangnya tahun baru di kawasan Thamrin. Dia bukan hanya satu-satunya yang bergembira malam tadi. Masih ada ribuan, mungkin jutaan orang di Indonesia--Jakarta khususnya, yang berbahagia tadi malam. Meluapkan kesenangannya di jalan raya, di klub, di cafe, di kaki lima.
Ironis memang. Katanya Indonesia menangis. Tapi, malam tadi, Jakarta malah mabuk dan tertawa. Sementara ribuan orang di Sumatera masih gundah di tengah musibah. Walaupun tidak semuanya berhura-hura, tetap saja saya jadi bertanya. Apakah mereka bersalah? Orang-orang yang tadi malam bergembira dalam pestanya masing-masing. Ah, entahlah. Saya tidak ingin menghakimi. Lagipula, bukankah dosa itu urusan Tuhan?
Mungkin tidak adil juga kalau menuduh mereka yang berpesta tadi malam, dengan cap tidak peduli. Tapi, kalau dipikir lagi, bukankah semua orang juga punya masalah dan musibahnya masing-masing? Para pedagang kaki lima, buruh pabrik, dan jutaan pengadu nasib lainnya di Ibu Kota. Dan, mungkin juga mereka berhak untuk sejenak merasakan bahagia. Lepas dari masalah. Entahlah. Hanya saja, saya sempat mengira kalau himbauan untuk tidak berpesta di tahun baru akan dipatuhi semua orang. Well, I guess I was wrong.
Tapi, tetap saja, saya masih merasa kalau tahun baru mesti dirayakan. Dan pertanyaan kenapa tahun baru mesti dirayakan itu masih muncul di kepala. Dan saya belum mendapatkan jawaban yang bisa memuaskan. Bingung? Maaf kalau begitu. Karena saya juga jadi bingung. Hahaha.
Salam,